Selasa, 08 Juli 2014

Syaih Wasil Sentono Gedong Kota Kediri

Ada ulama dari Turki yg diperintahkan untuk datang ke jawadwipa yg bernama Syech Ali Samsuzein, beliau sempat bermukim di Gunung Wilis (sadepok). Beliau mendirikan Masjid disana. (masih ada peninggalannya).
Lalu Syech Ali Syamsuzein punya pengikut atau murid yaitu Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan.

Lalu Syech Ali Syamsuzein melanjutkan dakwah/ si'ar beliau ke sang Prabu Joyoboyo, melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya sang prabu menimba ilmu kemakrifatan.

Jadi Syech Ali Syamsyzein punya dua murid dng tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (Bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan).
Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.
Ki Hajar diperintahkan untuk membuka
Sang Prabu diperintahkan untuk menutup.
Hingga akhirnya Syech Ali  Syamsuzein kembali ke Turki.

Namun tanpa sengaja keduanya bertemu, seperti dituliskan pada syair diatas.
Ki Hajar membuka sesuatu yg seharusnya ditutup dari pandangan sang prabu walaupun itu hanya simbolis (Pasemon).
Sehingga sang prabu menganggap ki Hajar telah melakukan kesalahan fatal dan harus dibunuh.
Namun Menurut Ki Hajar, hal (Kitab) tsb harus dibuka walaupun secara simbolis (Pasemon).

Syech Alisyamsuzein => Syech Wasil => Syech Subakir => Syech Jumadil qubro => Syech Maulana Asmorokondi => Para wali songo, adalah satu garis lurus pola penyebaran Islam dng kearifan, kebijaksanaan.
Memang baru pada era demak islam mulai gencar di sebarkan dng sangat terbuka. Namun pijakan2 Islam sudah ditanamkan oleh pendahulu2 sebelum era Demak.

Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil...???
Syekh Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat.

Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.
Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasarpertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara cultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut berdasar variabel pendukung.Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.Keempat ekspedisi Cheng Ho yang datang mengunjungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa (Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan” melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yang disinggahi. Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban) ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan orang Jawa (penduduk asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak kira-kira 50 tahun sebelum masa itu.


Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu? Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.
Namun demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih memerlukan kajian secara intensif dan sistematis.
Masjid Setono Gedong
Bekas bangunan yang terdapat di belakang masjid Setono Gedong sekarang adalah bekas bangunan masjid bukan bekas bangunan candi. Terdapat beberapa indikasi bahwa reruntuhan bangunan tersebut merupakan bekas bangunan masjid.

Pertama, pola denah bangunan lebih mengarah pada bangunan masjid. Sebagaimana pola denah bangunan masjid kuna di Indonesia, pada bekas bangunan tersebut pola denahnya bujur sangkar, dengan tambahan serambi di depan dan satu ruangan khusus di depan yang disebut dengan mihrab. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi maka akan muncul pertanyaan apa fungsi tambahan bangunan yang terdapat di depan bangunan utama.
Kedua, bentuk pagar keliling bangunan merupakan ciri khas bangunan-bangunan masjid atau makam kuna di Indonesia. Jika diperhatikan secara cermat maka bentuk pagar keliling menyerupai bentuk pagar yang ada di makam Sendang Duwur, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Giri.
Ketiga, letak dan jumlah pintu masuk. Pada pagar keliling bekas bangunan masjid Setono Gedong terdapat tiga pintu masuk yaitu di bagian depan (timur), samping kanan (selatan) dan samping kiri (utara). Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, biasanya pintu masuk itu hanya satu dan harusnya berada di bagian barat.
Keempat, bahan bangunan pagar keliling yang terbuat dari batu kapur. Penggunaan batu kapur sebagai bahan pembuatan pagar keliling sebab batu kapur yang berwarna putih itu merupakan lambang kesucian dalam agama Islam. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri. 


Hubungan dengan Sentono Genthong Pacitan 
Ada kemiripan nama antara Setono/Astono/Sentono karena logat dan lidah jawa yng bermakna pekuburan. Gedong sendiri bermakna pembungkus. Pada masa Islam menurut tradisi murni ajaran ini , setiap mayit diwajibkan dikafani (digedong/bahasa Jawa red). Sehingga  demikian banyak pekuburan diberi julukan nggedongan di Jawa. atau bahasa lainnya tempat yang ditinggikan (baitul makmur).Menurut Cerita legenda Pacitan, Sentono Genthong dahulunya adalah tempat berisi tulang belulang (pekuburan kuno) yang dimasukkan ke dalam Gentong. Meski kebenarannya masih dipertanyakan, namun penemuan2 gentong dan tulang di lokasi ini sedikit memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang sengaja diletakkan di sana. Yaitu pekuburan kuno pada masa animisme.Ada pendapat mengatakan bahwa :
Genthong itu katanya tumbalnya Pulau Jawa sedangkan yang numbali saat itu katanya Sultan di Negeri Ngerum. Adapun dongengnya tersebut di bawah ini.
Pada zaman dahulu kala, pulau Jawa masih kosong belum ada yang menempati. Tidak satupun manusia di pulau Jawa ini, di sana-sini semua hanya terdapat hutan dan rawa-rawa. Pada suatu hari Sultan Ngerum menyuruh kerbat Negara (punggawa kerajaan) atau rakyatnya laki-laki maupun perempuan membabat atau membuka pulau Jawa ini. Perintah Sultan Ngerum tadi ternyata terlaksanan atau dilaksanakan oleh rakyat atau penduduk kerajaan Ngerum dan membuat gunugn-gunugn, hutan-hutan dimana-mana dan saat itu pulau Jawa sangat keramat atau angker sekali, menjadi kerajaannya bangsa setan, jin, dan lain-lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Oleh karena itu, wadyo bolo dari Ngerum tadi mempunyai ilmu untuk menghilangkan atau menyingkirkan bangsa lelembut atau makhluk halus yang ada di situ. Tetapi wadyo bolo dari Ngerum tadi juga banyak yang mati akibat dari makhluk-makhluk halus tersebut. Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan dan menyuruh seorang Pandita untuk menumbali (syarat) pulau Jawa, maksudnya tanah yang sangar dan kayu-kayu yang angker dapat tawa atau dihindari oleh makhluk-makhluk halus.
Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan Punggawa Kerajaan beserta dengan wadyo bolonya datang ke tanah pulau Jawa melihat hasil babatan-babatan yang sudah pernah dikerjakan dan ternyata pulau Jawa ini dapat ditempati dan didirikan rumah sampai sekarang ini.
Sebutan Maghribi dan Ngerum/Persia
Maghribi merupakan sebutan dari masyarakat muslim di Jawa pada abad XIV – XV M yang ditujukan kepada para ulama yang datang dari belahan barat seperti dari Aceh, Iran, Arab maupun dari Asia kecil seperti halnya Uzbekistan dan bahkan dari Afrika. Maulana Malik Ibrahim Kasani yang meninggal tahun 1419 di Gresik juga disebut Syekh Maghribi.
Syech Maulana Maghribi sendiri memiliki peran terhadap sejarah babad di Pacitan, sebagaimana mubaligh Islam pertama kali yng dikirim oleh R Patah ke tanah Wengker selatan untuk mendidik ilmu tauhid. Beliau memiliki peninggalan di bekas pesantren/perdikan di tanah Duduhan (Mentoro Kec. Pacitan) berupa tongkat yang ditancapkan dan tumbuh menjadi pohon Kecik Sari. Pohon ini adalah satu-satunya peninggalan beliau selain ajaran Islam yang mengakar kuat di Pacitan sampai saat ini sebagai pertanda kehadiran para wali di tanah Wengker Kidul. Sekian abad berlalu pohon kecik sari masih hidup dan telah menjadi saksi sejarah.
Tumbal Tanah Jawa
Dengan sebutan kerajaan  NGERUM maka menunjukkan seorang ulama besar dari Persia. yang datang ke tempat ini. Jika benar bahwa hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, maka bisa jadi beliau bersama2 Syech Maghribi dan Syech Subakir pernah hadir dalam penghayatan tumbal tanah Jawa khususnya di Pacitan.
Batu Kapur dari Pacitan???_
  Didukung dengan fakta adanya bangunan Masjid Setono Gedong pagar keliling yang terbuat dari batu kapur yang merupakan lambang kesucian dalam agama Islam.  Batu2 ini banyak terdapat di daerah Pacitan khususnya Setono Genthong. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri??? 
Maka jika dikaitkan dengan adanya banyak kesamaan kisah perjalan (MUHIBAH) para wali ini, tentu kita mahfum bahwa mereka adalah tokoh2 yang dahulunya melakukan ekspedisi ke banyak tempat dan daerah di pulau Jawa yang pernah disinggahi, termasuk Pacitan
Pemandian sendang

......Catatan Tambahan
Mengapa ditanami Tumbal Gaib lagi oleh Syekh Subakir ?   Syekh Subakir adalah anggota Walisongo angkatan pertama. Kalo ndak salah sekitar tahun 1300-an Masehi. Beliau juga melakukan penanaman tumbal di beberapa tempat di Tanah Jawa. Beliau adalah ahli tumbal terkenal dari negeri Persia. Mengapa dilakukan penanaman tumbal kembali, walaupun dahulu (ratusan tahun sebelumnya), ada juga tumbal Aji Saka? Mungkin saja penyebabnya sbb :1. Tumbal Aji Saka mengalami pelemahan daya gaibnya karena disebabkan berbagai hal. 2. Lelembut ganas pada saat itu mungkin mulai merajalela. 3. Kondisi gaib Tanah Jawa pada saat itu sedang goncang. 4. Tumbal Aji Saka sudah uzur atau kadaluwarsa/expired. 5. Sebab-sebab lain yang tidak diketahui.Istilah "Tumbal gaib" atau penangkal/peredam hawa angker/sangar dari Tanah Jawa, istilah ini jangan di-campurbaur-kan dengan istilah tumbal pesugihan, karena amat berbeda makna dan tujuannya. Namun selain tumbal yang ditanam oleh Aji saka, juga terdapat tumbal yang ditanam oleh kanjeng Syekh Subakir, sekian ratus tahun lamanya sesudah penumbalan pertama. Syekh Subakir adalah ahli tumbal dari Negeri Persia. Beliau tergolong anggota walisongo angkatan pertama.


Bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?

Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.

Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul "Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa". Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai "Ensiklopedi Jawa"...dengan kesimpulan : Islam dan Jawa satu....
 

0 komentar :

Posting Komentar