Ada
ulama dari Turki yg diperintahkan untuk datang ke jawadwipa yg bernama
Syech Ali Samsuzein, beliau sempat bermukim di Gunung Wilis (sadepok).
Beliau mendirikan Masjid disana. (masih ada peninggalannya).
Lalu Syech Ali Syamsuzein punya pengikut atau murid yaitu Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan.
Lalu
Syech Ali Syamsuzein melanjutkan dakwah/ si'ar beliau ke sang Prabu
Joyoboyo, melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya sang prabu menimba
ilmu kemakrifatan.
Jadi
Syech Ali Syamsyzein punya dua murid dng tataran kemakrifatan tapi dari
sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (Bekas pertapa),
sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan).
Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.
Ki Hajar diperintahkan untuk membuka
Sang Prabu diperintahkan untuk menutup.
Hingga akhirnya Syech Ali Syamsuzein kembali ke Turki.
Namun tanpa sengaja keduanya bertemu, seperti dituliskan pada syair diatas.
Ki Hajar membuka sesuatu yg seharusnya ditutup dari pandangan sang prabu walaupun itu hanya simbolis (Pasemon).
Sehingga sang prabu menganggap ki Hajar telah melakukan kesalahan fatal dan harus dibunuh.
Namun Menurut Ki Hajar, hal (Kitab) tsb harus dibuka walaupun secara simbolis (Pasemon).
Syech
Alisyamsuzein => Syech Wasil => Syech Subakir => Syech Jumadil
qubro => Syech Maulana Asmorokondi => Para wali songo, adalah
satu garis lurus pola penyebaran Islam dng kearifan, kebijaksanaan.
Memang
baru pada era demak islam mulai gencar di sebarkan dng sangat terbuka.
Namun pijakan2 Islam sudah ditanamkan oleh pendahulu2 sebelum era Demak.
Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil...???
Syekh
Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli
dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang
datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja
Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan
mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau
tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika
setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari
masyarakat.
Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.
Berkaitan
dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasarpertama
kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan raja
Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha
khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil
jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara cultural maupun secara
politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa
Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang
terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman
baru.Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman
Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama
itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks
bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau
bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut
berdasar variabel pendukung.Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti
arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur
dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong
dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh
Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama
Islam di Kediri pada masa itu.Keempat ekspedisi Cheng Ho yang datang
mengunjungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa
(Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan”
melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yang
disinggahi. Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban)
ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang
Cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan orang Jawa (penduduk
asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa Islam
sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia
menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak
kira-kira 50 tahun sebelum masa itu.
Jika
pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu?
Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri
yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan
Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini
didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan
dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong
dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri
Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri
yang bernama Suryo Adilogo.
Namun
demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu
adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih
memerlukan kajian secara intensif dan sistematis.
Masjid Setono Gedong
Bekas
bangunan yang terdapat di belakang masjid Setono Gedong sekarang adalah
bekas bangunan masjid bukan bekas bangunan candi. Terdapat beberapa
indikasi bahwa reruntuhan bangunan tersebut merupakan bekas bangunan
masjid.
Pertama, pola denah bangunan lebih mengarah pada bangunan masjid. Sebagaimana pola denah bangunan masjid kuna di Indonesia, pada bekas bangunan tersebut pola denahnya bujur sangkar, dengan tambahan serambi di depan dan satu ruangan khusus di depan yang disebut dengan mihrab. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi maka akan muncul pertanyaan apa fungsi tambahan bangunan yang terdapat di depan bangunan utama.Kedua, bentuk pagar keliling bangunan merupakan ciri khas bangunan-bangunan masjid atau makam kuna di Indonesia. Jika diperhatikan secara cermat maka bentuk pagar keliling menyerupai bentuk pagar yang ada di makam Sendang Duwur, makam Sunan Drajat, atau makam Sunan Giri.Ketiga, letak dan jumlah pintu masuk. Pada pagar keliling bekas bangunan masjid Setono Gedong terdapat tiga pintu masuk yaitu di bagian depan (timur), samping kanan (selatan) dan samping kiri (utara). Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, biasanya pintu masuk itu hanya satu dan harusnya berada di bagian barat.Keempat, bahan bangunan pagar keliling yang terbuat dari batu kapur. Penggunaan batu kapur sebagai bahan pembuatan pagar keliling sebab batu kapur yang berwarna putih itu merupakan lambang kesucian dalam agama Islam. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri.
Hubungan dengan Sentono Genthong Pacitan
Ada
kemiripan nama antara Setono/Astono/Sentono karena logat dan lidah jawa
yng bermakna pekuburan. Gedong sendiri bermakna pembungkus. Pada masa
Islam menurut tradisi murni ajaran ini , setiap mayit diwajibkan
dikafani (digedong/bahasa Jawa red). Sehingga demikian banyak pekuburan
diberi julukan nggedongan di Jawa. atau bahasa lainnya tempat yang
ditinggikan (baitul makmur).Menurut Cerita legenda Pacitan, Sentono
Genthong dahulunya adalah tempat berisi tulang belulang (pekuburan kuno)
yang dimasukkan ke dalam Gentong. Meski kebenarannya masih
dipertanyakan, namun penemuan2 gentong dan tulang di lokasi ini sedikit
memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang sengaja diletakkan di sana.
Yaitu pekuburan kuno pada masa animisme.Ada pendapat mengatakan bahwa :
Genthong
itu katanya tumbalnya Pulau Jawa sedangkan yang numbali saat itu
katanya Sultan di Negeri Ngerum. Adapun dongengnya tersebut di bawah
ini.
Pada
zaman dahulu kala, pulau Jawa masih kosong belum ada yang menempati.
Tidak satupun manusia di pulau Jawa ini, di sana-sini semua hanya
terdapat hutan dan rawa-rawa. Pada suatu hari Sultan Ngerum menyuruh
kerbat Negara (punggawa kerajaan) atau rakyatnya laki-laki maupun
perempuan membabat atau membuka pulau Jawa ini. Perintah Sultan Ngerum
tadi ternyata terlaksanan atau dilaksanakan oleh rakyat atau penduduk
kerajaan Ngerum dan membuat gunugn-gunugn, hutan-hutan dimana-mana dan
saat itu pulau Jawa sangat keramat atau angker sekali, menjadi
kerajaannya bangsa setan, jin, dan lain-lain yang tidak dapat dilihat
oleh manusia. Oleh karena itu, wadyo bolo dari Ngerum tadi mempunyai
ilmu untuk menghilangkan atau menyingkirkan bangsa lelembut atau makhluk
halus yang ada di situ. Tetapi wadyo bolo dari Ngerum tadi juga banyak
yang mati akibat dari makhluk-makhluk halus tersebut. Selanjutnya Sultan
Ngerum memerintahkan dan menyuruh seorang Pandita untuk menumbali
(syarat) pulau Jawa, maksudnya tanah yang sangar dan kayu-kayu yang
angker dapat tawa atau dihindari oleh makhluk-makhluk halus.
Selanjutnya
Sultan Ngerum memerintahkan Punggawa Kerajaan beserta dengan wadyo
bolonya datang ke tanah pulau Jawa melihat hasil babatan-babatan yang
sudah pernah dikerjakan dan ternyata pulau Jawa ini dapat ditempati dan
didirikan rumah sampai sekarang ini.
Sebutan Maghribi dan Ngerum/Persia
Maghribi
merupakan sebutan dari masyarakat muslim di Jawa pada abad XIV – XV M
yang ditujukan kepada para ulama yang datang dari belahan barat seperti
dari Aceh, Iran, Arab maupun dari Asia kecil seperti halnya Uzbekistan
dan bahkan dari Afrika. Maulana Malik Ibrahim Kasani yang meninggal
tahun 1419 di Gresik juga disebut Syekh Maghribi.
Syech
Maulana Maghribi sendiri memiliki peran terhadap sejarah babad di
Pacitan, sebagaimana mubaligh Islam pertama kali yng dikirim oleh R
Patah ke tanah Wengker selatan untuk mendidik ilmu tauhid. Beliau
memiliki peninggalan di bekas pesantren/perdikan di tanah Duduhan
(Mentoro Kec. Pacitan) berupa tongkat yang ditancapkan dan tumbuh
menjadi pohon Kecik Sari. Pohon ini adalah satu-satunya peninggalan
beliau selain ajaran Islam yang mengakar kuat di Pacitan sampai saat ini
sebagai pertanda kehadiran para wali di tanah Wengker Kidul. Sekian
abad berlalu pohon kecik sari masih hidup dan telah menjadi saksi
sejarah.
Tumbal Tanah Jawa
Dengan
sebutan kerajaan NGERUM maka menunjukkan seorang ulama besar dari
Persia. yang datang ke tempat ini. Jika benar bahwa hubungan yang sangat
dekat dengan seorang wali, maka bisa jadi beliau bersama2 Syech
Maghribi dan Syech Subakir pernah hadir dalam penghayatan tumbal tanah
Jawa khususnya di Pacitan.
Batu Kapur dari Pacitan???_
Didukung
dengan fakta adanya bangunan Masjid Setono Gedong pagar keliling yang
terbuat dari batu kapur yang merupakan lambang kesucian dalam agama
Islam. Batu2 ini banyak terdapat di daerah Pacitan khususnya Setono
Genthong. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa
bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang
banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan
dari tempat yang jauh dari Kediri???
Maka
jika dikaitkan dengan adanya banyak kesamaan kisah perjalan (MUHIBAH)
para wali ini, tentu kita mahfum bahwa mereka adalah tokoh2 yang
dahulunya melakukan ekspedisi ke banyak tempat dan daerah di pulau Jawa
yang pernah disinggahi, termasuk Pacitan
......Catatan Tambahan
Mengapa ditanami Tumbal Gaib lagi oleh Syekh Subakir ? Syekh
Subakir adalah anggota Walisongo angkatan pertama. Kalo ndak salah
sekitar tahun 1300-an Masehi. Beliau juga melakukan penanaman tumbal di
beberapa tempat di Tanah Jawa. Beliau adalah ahli tumbal terkenal dari
negeri Persia. Mengapa dilakukan penanaman tumbal kembali, walaupun
dahulu (ratusan tahun sebelumnya), ada juga tumbal Aji Saka? Mungkin
saja penyebabnya sbb :1. Tumbal Aji Saka mengalami pelemahan daya
gaibnya karena disebabkan berbagai hal. 2. Lelembut ganas pada saat itu
mungkin mulai merajalela. 3. Kondisi gaib Tanah Jawa pada saat itu
sedang goncang. 4. Tumbal Aji Saka sudah uzur atau kadaluwarsa/expired.
5. Sebab-sebab lain yang tidak diketahui.Istilah "Tumbal gaib" atau
penangkal/peredam hawa angker/sangar dari Tanah Jawa, istilah ini jangan
di-campurbaur-kan dengan istilah tumbal pesugihan, karena amat berbeda
makna dan tujuannya. Namun selain tumbal yang ditanam oleh Aji saka,
juga terdapat tumbal yang ditanam oleh kanjeng Syekh Subakir, sekian
ratus tahun lamanya sesudah penumbalan pertama. Syekh Subakir adalah
ahli tumbal dari Negeri Persia. Beliau tergolong anggota walisongo
angkatan pertama.
Bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?
Pertanyaan
itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak enam bulan
ini. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa
hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi
animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan
makna kultural Jawa.
Penelitian
yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul
"Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya
Jawa". Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi
Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa
dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai
"Ensiklopedi Jawa"...dengan kesimpulan : Islam dan Jawa satu....
0 komentar :
Posting Komentar